Showing posts with label thinking. Show all posts
Showing posts with label thinking. Show all posts

No Hollywood Anymore

Baru kali ini denger berita yang bikin kaget. FILM IMPOR MAU DIHENTIKAN. Hey! What’s the problem? Mari kita lihat akar permasalahannya.

Jadi Bea Cukai Indonesia menetapkan tarif bea masuk baru untuk barang impor dan royaltinya yang lebih tinggi 20% dari sebelumnya. Alasannya untuk menertibkan para distributor film impor yang sebelumnya menunggak pembayaran royalty dan katanya sampai merugikan negara hingga miliaran rupiah. Akibatnya MPA (Motion Picture Association) dari Amerika Serikat keberatan atas kebijakan baru itu dan memutuskan untuk mengembargo filmnya ke Indonesia.

Di sisi lain kebijakan baru ini bisa mendorong industri film dalam negeri untuk bersaing lebih kompetitif. Tapi apakah sudah siap insan perfilman kita?

Sekarang lihat aja di bioskop, film Indonesia gak jauh-jauh dari yang namananya pocong, kuntilanak, jenglot, dan makhluk-makhluk gak jelas lainnya. Ditambah lagi adegan-adegan vulgar yang seolah-olah mengekspos tubuh artis tersebut. Ada sih film Indonesia yang bermutu. Kaya Laskar Pelangi atau Denias misalnya. Tapi sayang, film seperti itu musiman dan jarang ada tiap tahun.

Aku di sini sebagai orang awam yang gak terlalu paham tentang kebijakan fiskal mau beri sedikit kritik. Jadi menurutku sikap yang dilakukan Kementerian Keuangan ini terkesan terburu-buru dan kurang pertimbangan. Jika memang ingin mengambil kembali uang pemerintah yang miliaran itu seharusnya kenakan aja denda pada distributor yang menunggak. Jadi gak perlu naikin bea masuknya. Dan kalopun kebijakan itu mau direalisasikan tunggu saat industri film kita benar-benar sudah siap. Jadi masyarakat tetap bisa mendapatkan tontonan yang berkualitas.

Dan lagi-lagi kebijakan ini bukan menguntungkan tapi malah menambah permasalahan. Coba bayangin nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari bioskop. Dari tukang parkir, petugas penjual tiket, atau cleaning service pasti yang paling merasakan dampak negatif dari kebijakan ini. Blitz Megaplex di Jakarta contohnya, ia menggantungkan usahanya dari film-film impor. Bioskop itu menayangkan film impor dengan proporsi 80% dari seluruh film yang ditayangkan. Jadi lagi-lagi masyarakat yang dirugikan :(

Jakarta Macet, Salah Siapa?

Bagi pengendara kendaraan di Jakarta nih, pasti udah gak asing lagi sama yang namanya macet karna udah ngrasain setiap hari. M-A-C-E-T, permasalahan kompleks Jakarta yang dari dulu sampe sekarang gak selesai-selesai.

So, apa yang salah dengan kota ini?

Pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan raya.

Sebenarnya itu jawaban yang paling pas. Gimana gak, Kendaraan di Jakarta yang jumlahnya lebih dari 10 juta unit udah kaya desak-desakan aja melintas di atas jalan. Gak ada kata lain yang bisa gambarin kondisi ini selain RUWET.

Lantas, salah siapa?

Gak hanya satu pihak aja yang salah, semuanya patut disalahkan dan bertanggung jawab.

Pertama, pemda DKI. Gak ada regulasi yang jelas mengenai tata lalu lintas kota. Lihat aja deh, masih banyak kan angkot yang berhenti sembarangan, ato pengendara yang jelas2 bersalah tapi dibiarkan begitu aja lolos tanpa proses tilang. Harusnya kalo pingin kondisi jalan tetap aman, tertib, dan lancar, ada peraturan dan sanksi yang tegas. Pembangunan infrastruktur juga tuh, gimana kelanjutan monorail dan MRT?

Masalah angkutan massal patut dapat sorotan, semuanya bebas bersaing di jalan raya tanpa ada batasan yang akhirnya nyebabin tumpang tindih trayek. Udah ada bajaj, masih ditambah angkot, ditambah lagi metro mini, ada lagi busway. Duh… duh…

Kedua, masyarakat. Gak usah nyalahin pemerintah, kita sendiri aja juga gak bener. Tanamkan lah sikap taat ber-lalu-lintas dalam diri. Kalo lampu merah, ya berhenti. Kalo belum punya SIM, ya jangan naik kendaraan. Kadang sikap manja kita juga nih, contohnya walopun jarak ke kantor ato kampus cuma 2 km, gitu aja naik kendaraan. Sikap inilah yang nyebabin membengkaknya jumlah kendaraan di jalan raya.

Kalo mau berkaca ke negara tetangga, di Singapore hanya sedikit orang yang naik mobil. Mau tahu alasannya? karena harga mobil selangit. Hanya orang-orang tertentu yang bisa beli. Trus kalo mau pergi2 gimana? Nah itulah bedanya Singapore sama Indonesia, mereka gak malas jalan kaki.

Polemik Pajak Warteg

Akhir2 ini ada isu kontroversial tentang kebijakan pemda DKI yang mau dicanangin. Isu itu gak lain gak bukan adalah pengenaan pajak atas warung tegal a.k.a warteg. Di salah satu sisi ada orang yang nolak dan di sisi lain ada yang dukung. Honestly, aku ada di pihak mendukung. Bukan karena aku kuliah di STAN trus jadi dukung, tapi karena ada beberapa hal yang menurutku ada benarnya.

Yang pertama, pajak warteg ditujukan untuk warteg atau sejenisnya yang omset per bulannya Rp 60 juta. Menurutku ini rasional, karena pembebanan pajak dikenakan atas pengusaha yang omsetnya di atas batas minimum pengenaan pajak. Jadi buat warteg kecil2an gak bakal kena. Prinsipnya gini deh, kalo lu kaya lu harus mau bayar pajak. Karena fungsi pajak buat memeratakan perekonomian.

“Kalo lu kaya lu harus mau bayar pajak. Pajak itu untuk pembangunan bangsa.”

Trus ya itu tadi, balik lagi ke fungsi pajak. Pajak itu untuk pembangunan bangsa. Jadi penting banget untuk jalanin kebijakan2 yang ingin dicanangkan pemerintah. Misalnya untuk buat jalan, buat jembatan, atau beri subsidi, itu semua sumbernya dari pajak. Malah ada suatu negara nih yang hidupnya sebagian besar bergantung pada pajak.

Nah, mulai sekarang kalo kita dikenakan pajak jangan protes dulu, ingat lagi kalo kita bayar pajak berarti kita berkontribusi terhadap pembangunan di bangsa ini. Tapi balik lagi, yang namanya kebijakan pasti ada yang pro dan kontra, dan itu wajar.